Judul: “Yang Gagal Aku Jaga”
Kalau kamu tanya siapa perempuan paling rumit sekaligus paling aku rindukan—jawabannya Aira.
Aku dan dia itu kayak lagu lama yang nggak pernah selesai dimainkan. Dulu kami sahabatan, terlalu dekat sampai semua orang ngira kami pacaran. Padahal waktu itu aku cuma berani nunjukin rasa lewat perhatian kecil: nganterin dia pulang, dengerin curhatnya sampai tengah malam, atau nyimpen semua makanan yang dia suka.
Sampai malam itu, waktu aku mabuk dan semua yang kupendam tumpah begitu aja.
"Aku suka kamu, Ra... dari dulu."
Aku pikir dia bakal kabur, atau ketawa. Tapi besoknya, dia ngajak aku jalan, dan dari situlah kami mulai sesuatu yang baru—lebih dari sahabat.
Dan seperti semua yang terlalu cepat tumbuh, kami juga cepat patah.
Waktu itu ada Tiara. Dia temen nongkrong, temen cerita juga. Aku nggak pernah punya niat buat nyakitin Aira, tapi aku juga terlalu pengecut buat ngusir orang yang selalu ada pas Aira lagi sibuk. Aku kejebak di tengah, dan pada akhirnya... ya, aku nyakitin dua orang sekaligus.
Aira ninggalin aku. Dengan mata sembab tapi kepala tegak. Aku masih inget gimana dia bilang, "Aku nggak marah, aku cuma capek."
Setelah itu aku sama Tiara sebentar. Tapi jujur, semuanya nggak pernah senyaman bareng Aira. Bahkan waktu Tiara peluk aku, aku mikir, "Kalau ini Aira, mungkin aku bakal tenang."
Waktu berlalu. Aku dan Aira mulai sering ketemu lagi. Jalan bareng, nonton, ngobrol di mobil kayak dulu. Tapi ada yang beda. Dia nggak lagi sama—lebih tenang, lebih jaga jarak. Tapi aku juga tahu, senyumnya masih hangat. Dan itu bikin aku betah.
Tapi entah kenapa, setiap habis ketemu dia, aku ngerasa bersalah.
Karena di sisi lain, Tiara masih sering ngabarin. Kadang curhat. Kadang cuma nanya kabar. Dia pernah bilang, "Aku masih nunggu kamu, Van. Tapi kamu kayak udah balik ke Aira."
Aku gak pernah jawab. Karena aku gak tahu harus milih siapa.
Lalu datang hari itu. Aira tanya aku pelan, di taman tempat biasa kami duduk:
"Kita ini sekarang apa, sih?"
Aku diam. Karena bahkan aku sendiri gak tahu jawabannya.
Yang aku tahu, aku masih suka dia. Masih pengin dia.
Tapi waktu dia bilang, "Aku juga masih suka kamu, tapi aku lebih sayang sama diriku sekarang..."
Rasanya kayak ditampar pelan tapi dalam. Sakit. Tapi aku paham.
Dia pergi dengan langkah ringan. Dan aku cuma duduk, menatap gelas kopi kosong. Pahitnya belum habis, tapi Aira sudah memilih untuk tak lagi menyesapnya.
Malamnya aku buka galeri, lihat semua foto kami. Aku nyadar... bukan Aira yang pergi dariku. Aku yang kehilangan dia waktu nggak bisa jaga kepercayaannya.
Dan sekarang, aku cuma bisa jadi bagian dari masa lalu yang dia jaga rapi, tapi nggak mau ulang lagi.
Aira...
Kamu masih jadi nama yang paling sering mampir di kepalaku.
Tapi kali ini, aku harus belajar mencintaimu—tanpa memilikinmu.
Komentar
Posting Komentar