Judul: "Yang Tak Bisa Aku Namakan"
Aku tak tahu harus menyebut ini apa.
Bukan cinta, tapi juga bukan sekadar pertemanan.
Sesuatu yang menggantung di antara masa lalu dan kenyamanan.
Namaku Aira. Dan Revan... dia adalah semua bab yang tak selesai di hidupku.
Dulu kami sahabat. Terlalu dekat, bahkan kadang orang-orang tak percaya kalau kami tak pacaran. Tapi aku tahu, aku tahu banget kapan semuanya berubah—malam itu, ketika dia pulang dari pesta dalam keadaan mabuk dan bilang:
"Aku nyimpen rasa ini lama banget, Ra. Tapi kamu nggak pernah peka. Aku suka kamu, dari dulu."
Aku diam. Tiba-tiba semua ingatan soal caranya memperhatikan aku jadi masuk akal. Aku cuma... gak pernah ngeliat dia dari sisi itu.
Tapi setelah malam itu, aku mulai merasakannya juga. Dan kami jadian. Sebentar saja, sebelum semuanya retak—karena orang ketiga.
Namanya Tiara. Dan ya, aku tahu dia ada dari awal. Aku pernah lihat cara Revan ngelirik dia saat lagi ribut-ribut di kafe. Aku bukan bodoh, aku cuma terlalu percaya.
Revan dan aku putus. Tiara sempat datang padaku, nangis-nangis, bilang dia gak nyangka Revan ninggalin dia juga. Aku gak tahu harus kasihan atau merasa puas. Tapi yang jelas, aku gak ingin balik.
Dan sekarang, Revan kembali sering ngajak aku pergi. Kami jalan-jalan ke luar kota, healing katanya. Nonton film, makan di tempat yang dulu sering kami datangi. Semua terasa nyaman. Terlalu nyaman.
Aku update story kadang. Aku pikir gak masalah, toh kami sama-sama jomblo.
Sampai satu malam, Tiara kirim pesan.
"Aku cemburu banget liat kalian. Tapi aku percaya kamu. Tolong jangan balik sama Revan ya, aku masih sayang banget sama dia."
Tanganku gemetar waktu baca pesannya. Bukan karena takut—tapi karena aku sadar: aku juga cemburu kalau Revan ngomongin Tiara. Tapi aku juga gak mau dia kembali jadi pacarku. Aku gak siap disakiti untuk yang kedua kali.
Aku ingin dia... tapi sebagai apa?
Hari itu, kami duduk di taman, minum es kopi yang terlalu manis. Revan cerita soal rencananya liburan ke Bali. Dia pengin aku ikut.
"Ayo dong, Ra. Dulu kan kita pernah bilang, pengin sunset-an bareng di pantai."
Aku hanya tersenyum. Aku ingat janji itu. Tapi aku juga ingat siapa yang dulu ninggalin aku dalam gelap.
"Van," kataku pelan. "Kita ini sekarang apa, sih?"
Dia diam. Pandangannya menerawang jauh, seakan nyari jawaban di balik awan.
"Kamu masih suka sama aku?"
Dia gak jawab. Dan keheningan itu sudah cukup jadi jawaban.
"Aku juga masih suka kamu," lanjutku, "tapi... aku lebih sayang sama diriku sekarang."
Aku berdiri, mengusap debu di rokku. Angin sore menyapu rambutku, seolah ikut menyeka sisa-sisa bimbang.
"Kalau kamu mau tetap temenan, ayo. Tapi aku gak bisa kasih lebih dari itu. Aku mau tenang, Van. Aku mau sembuh."
Aku pulang malam itu dengan hati ringan. Bukan karena sudah tahu semua jawaban, tapi karena aku berani memilih.
Ada hal-hal yang cukup disimpan di hati, tak perlu dimiliki, apalagi diperjuangkan kembali.
Dan Revan adalah salah satunya.
Komentar
Posting Komentar