Tiga bulan.
Itu waktu yang tak lama, tapi cukup bagi Aruna untuk mengenal Alvino. Lelaki yang datang dengan tutur lembut, cara bicara yang menenangkan, dan perhatian kecil yang membuat dunia Aruna terasa lebih ringan. Mereka bukan pasangan sempurna, tapi saling melengkapi dalam caranya masing-masing.
Segalanya berjalan baik—sampai nama itu muncul: Sinta.
Gadis berkerudung lembut, tutur katanya halus, pandangannya selalu ditundukkan. Dari luar, tak ada yang bisa menebak bahwa kehadirannya perlahan menggeser posisi Aruna dalam hidup Alvino.
Tak ada perpisahan yang benar-benar indah.
Aruna tahu itu. Tapi rasanya tetap menyesakkan saat ia perlahan disingkirkan, bukan karena kesalahan, melainkan karena seseorang yang datang dengan citra “lebih baik.” Alvino memilih pergi, dan Sinta menggantikan tempatnya—bersamanya, dan bahkan di hati keluarga Alvino.
Satu tahun lebih berlalu. Sinta dan Alvino tampak bahagia, setidaknya dari luar. Aruna belajar untuk diam. Ia menyibukkan diri, menghapus nama itu dari doanya, meski kadang masih terlintas di sela malam yang sunyi.
Namun takdir punya cara unik mempermainkan waktu.
Setelah satu tahun, hubungan Alvino dan Sinta berakhir. Tak ada yang tahu sebab pastinya—mungkin perbedaan yang akhirnya tak bisa disembunyikan di balik tutur lembut itu. Dan entah bagaimana, Alvino kembali mendekati Aruna.
Awalnya Aruna ragu. Tapi perasaan lama, sekuat apa pun ditekan, punya jalan sendiri untuk tumbuh lagi. Ia memberi kesempatan, mungkin juga memberi maaf yang belum sepenuhnya sembuh. Mereka kembali dekat—seolah waktu berputar mundur.
Tapi sesuatu terasa berbeda kali ini.
Keluarga Alvino yang dulu begitu hangat menyambutnya, kini seakan menjaga jarak. Tatapan yang dulu ramah, kini dingin dan kaku. Ucapan yang dulu penuh sapaan manis, kini terasa berlapis sopan santun yang tipis—sekadar formalitas.
Seolah Aruna adalah orang asing yang datang untuk merusak sesuatu.
Padahal, yang rusak bukan ulahnya. Ia hanya kembali pada sesuatu yang dulu sempat menjadi miliknya. Tapi dunia seakan membalik logika—ia yang dulu ditinggalkan, kini dicurigai sebagai perusak.
Malam itu, Aruna duduk di kamarnya, menatap lampu yang redup.
Ia tersenyum getir. “Lucu, ya,” gumamnya pada diri sendiri. “Aku dulu pergi dengan diam, tapi sekarang malah dianggap datang dengan salah.”
Di dalam dirinya, ada kemarahan, tapi lebih banyak ketegaran. Ia sadar, mungkin tidak semua orang akan mengerti kisah dari sudutnya. Tidak semua luka bisa diceritakan tanpa disalahpahami.
Dan akhirnya, Aruna memilih berjalan lagi—bukan karena kalah, tapi karena tahu ia pantas untuk tenang.
Komentar
Posting Komentar